Thursday 30 January 2014

Menanam Pohon di Surga dan Memperberat Mizan Kebaikan

pureheartpeacefullife.wordpress.com/

Dzikir merupakan perkara mudah dan singkat yang mempunyai keutamaan yang sangat besar. Ladang pahala dan peluang masuk surga pun bisa didapat melalui amalan ini.
Ada seorang sahabat yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat Islam begitu banyak bagiku, maka beritahukanlah kepadaku amalan yang mudah aku tekuni.” Beliau menjawab:
لاَيَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ
(Yaitu) tetap terusnya lisanmu basah karena menyebut nama Allah.” (Shahih at-Tirmidzi 3:139 dan Shahih Ibnu Majah 2:317)
Berikut salah satu keutamaan dzikir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ، وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيْكِكُمْ، وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوْا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوْا أَعْنَاقَكُمْ ؟” قَالُوْا بَلَى .قَالَ : ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى
“Maukah kalian aku beritahukan amalan yang paling baik, paling suci di sisi Tuhan kalian, lebih meninggikan derajat kalian dan lebih baik daripada menginfakkan emas dan perak serta lebih baik daripada kalian bertemu musuh, lalu kalian pancung leher mereka dan mereka pancung leher kalian?!” Para sahabat menjawab, “Ya.” Beliau menjawab, “dzikirullah.” (Shahih At Tirmidzi 3/139 dan Shahih Ibnu Majah 2/316) [http://pengusahamuslim.com/tidak-ada-istilah-1694]
 Adapun secara khusus, maka manfaatnya pun bermacam-macam. Pada postingan kali ini sengaja saya kumpulkan beberapa dzikir yang lafadznya mirip dan masing-masing mempunyai keutamaan yang sangat besar
Bayangkan, sambil berkendara di jalan, menunggu kemacetan, menunggu antrian, dll, kita bisa menanam pohon di surga atau memperberat timbangan kebaikan kita. Ini dia caranya:
1. Menanam Pohon di Surga
bibit_pohon
green.kompasiana.com
a. Dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika melewatinya yang sedang menanam tanaman, beliau berkata: ‘Apa yang engkau tanam?’ Abu Hurairah menjawab; ‘Tanaman untukku.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: ‘Wahai Abu Hurairah maukah engkau aku tunjukkan pada tanaman yang lebih baik dari tanaman ini (yang engkau tanam)?’ Jawab Abu Hurairah: ‘Mau ya Rasulullah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Katakanlah Subhanallah, walhamdulillah, walaa Ilaaha illallah, wallahu akbarmaka akan ditanamkan bagimu satu pohon di surga.” (HR. Ibnu Majah no. 3807. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam shahiih Ibni Majah (2/320, no. 3069))
[Disalin dari buku "Lebih dari 1000 Amalan Sunnah dalam Sehari Semalam" diterjemahkan dari risalah Aktsaru min Alfi Sunnatin fil Yaum wal Lailah. Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i] (http://faisalchoir.blogspot.com/2011/07/menanam-pohon-di-surga.html)
Hadits di atas senada dengan sabda Rasulullah-shallalahu ‘alaihi wa sallam- dalam hadis lainnya:
لقيت إبراهيم ليلة أسري بي فقال : يا محمد أقرئ أمتك مني السلام و أخبرهم أن الجنة طيبة التربة عذبة الماء و أنها قيعان و أن غراسها سبحان الله و الحمد لله و لا إله إلا الله و الله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله ) ( ت) (طب) عن ابن مسعود. قال الألباني : (حسن) انظر حديث رقم: 3460 في صحيح الجامع عن ابن مسعود .
“Aku bertemu dengan Ibrahim-Alaihis salam-pada malam peristiwa Isra mi’raj dan dia berkata padaku: Wahai Muhammad sampaikan salamku kepada ummatmu dan beritahukan mereka bahwa surga itu begitu lembut debunya dan manis airnya dan sesungguhnya dia memiliki lembah-lembah dan sesungguhnya tanamannya adalah ucapan : سبحان الله و الحمد لله و لا إله إلا الله و الله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله “ (Subhanallah, walhamdulillah, walaa Ilaaha illallah, wallahu akbar, walaa quwwata illa billah). [HR. Tirmizi. At-Thabrani dan Al-Abani menghasankannya dalam Sahih Al-Jami no 3460.] {http://www.abufairuz.com/2012/tazkiyatun-nufus/memiliki-rumah-di-surga/}
Pada hadits kedua ada tambahan ucapan: “walaa quwwata illa billah
Ada bonus keutamaan lagi dari dzikir di atas:
أَحَبُّ اَلْكَلَامِ إِلَى اَللَّهِ أَرْبَعٌ, لَا يَضُرُّكَ بِأَيِّهِنَّ بَدَأْتَ: سُبْحَانَ اَللَّهِ, وَالْحَمْدُ لِلَّهِ, وَلَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ, وَاَللَّهُ أَكْبَرُ
Ucapan yang paling dicintai Allah ada empat, tidak mengapa bagimu memulai dari yang mana saja, yaitu: Subhaanallah wal hamdulillah wa laa ilaaha illallallah wallahu akbar.” (HR. Muslim) [http://pengusahamuslim.com/tidak-ada-istilah-1694]
Ada satu lagi yang mirip dengan kedua dzikir di atas, yang ini ketamaannya: menanam pohon kurma:
b.                                                                                                                                                                                                                   عن جابر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ” من قال سبحان الله العظيم وبحمدهغرست له نخلة في الجنة”.
            Dari Jabir radhiallahu ‘anhu dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda : ” Barang siapa yang berkata :”Subhanallahil adzim wa bi hamdihi“( maha suci Allah yang maha agung dan segala puji baginya ) maka akan ditanamkan untuknya  sebatang pohon korma di surga“ (HR Ibnu Hibban dan Tirmidzi. Dan dishohihkan Al Albani). [http://abu-riyadl.blogspot.com/2011/10/pohon-pohon-kurma-itu.html]
2. Memperberat Timbangan Kebaikan (Memperbesar Peluang Masuk Surga)
ringan di lisanDari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ، ثَقِيلَتَانِ فِى الْمِيزَانِ ، حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ
Dua kalimat yang ringan di lisan, namun berat di timbangan, dan disukai Ar Rahman yaitu “Subhanallah wa bi hamdih, subhanallahil ‘azhim” (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya. Maha Suci Allah Yang Maha Agung). (HR. Bukhari no. 6682 dan Muslim no. 2694)
Ibnu Hajar berkata (diringkas):
“Alur pembicaraan dalam hadits di atas sangat bagus sekali. Hadits tersebut  menunjukkan bahwa cinta Rabb mendahului hal itu, kemudian diikuti dengan dzikir dan ringannya dzikir pada lisan hamba. Setelah itu diikuti dengan balasan dua kalimat tadi pada hari kiamat. Makna dzikir tersebut disebutkan dalam akhir do’a penduduk surga yang disebutkan dalam firman Allah,
دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ وَآَخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Do’a mereka di dalamnya adalah: “Subhanakallahumma”, dan salam penghormatan mereka adalah: “Salam”. Dan penutup doa mereka adalah: “Alhamdulilaahi Rabbil ‘aalamin”.” (QS. Yunus: 10)” (Muqqodimah Al Fath, Ibnu Hajar Al Asqolani, hal. 474)     [http://rumaysho.com/belajar-islam/amalan/3258-ringan-di-lisan-berat-di-timbangan.html]
Hadits ini menunjukkan keagungan, kemuliaan, dan kekuasaan Allah ta’ala, inilah sifat-sifat yang dimiliki oleh-Nya. Di dalam bacaan dzikir ini tergabung antara pujian dan pengagungan yang mengandung perasaan harap dan takut kepada Allah ta’ala (lihat Taudhih al-Ahkam, 4/884-885). [http://abumushlih.com/ringan-di-lisan-berat-di-timbangan.html/]
Secara lebih luas berikut penjelasan tentang makna dzikir tersebut:
Subhanallahi wabihamdih
Makna ucapan subhanallah –Maha suci Allah- adalah; anda menyucikan Allah ta’ala dari segala aib dan kekurangan dan anda menyatakan bahwa Allah Maha sempurna dari segala sisi. Hal itu diiringi dengan pujian kepada Allah –wabihamdih- yang menunjukkan kesempurnaan karunia dan kebaikan yang dilimpahkan-Nya kepada makhluk serta kesempurnaan hikmah dan ilmu-Nya (lihat Syarh Riyadh as-Shalihin li Ibni Utsaimin, 3/446)
Subhanallahil ‘azhim
Makna ucapan ini adalah tidak ada sesuatu yang lebih agung dan berkuasa melebihi kekuasaan Allah ta’ala dan tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya daripada-Nya, tidak ada yang lebih dalam ilmunya daripada-Nya. Maka Allah ta’ala itu Maha agung dengan dzat dan sifat-sifat-Nya (lihat Syarh Riyadh as-Shalihin li Ibni Utsaimin, 3/446). [http://abumushlih.com/ringan-di-lisan-berat-di-timbangan.html/]

Tambahan Faidah
a. Pada dzikir-dzikir di atas terdapat pujian kepada Alloh (al-Hamdu) yang memiliki faidah yang sangat agung. Berikut Faidahnya:
Al-Hamdu atau pujian adalah sanjungan kepada Allah dikarenakan sifat-sifat-Nya yang sempurna, nikmat-nikmat-Nya yang melimpah ruah, kedermawanan-Nya kepada hamba-Nya, dan keelokan hikmah-Nya. Allah ta’ala memiliki nama, sifat dan perbuatan yang sempurna. Semua nama Allah adalah nama yang terindah dan mulia, tidak ada nama Allah yang tercela. Demikian pula dalam hal sifat-sifat-Nya tidak ada sifat yang tercela, bahkan sifat-sifat-Nya adalah sifat yang sempurna dari segala sisi. Perbuatan Allah juga senantiasa terpuji, karena perbuatan-Nya berkisar antara menegakkan keadilan dan memberikan keutamaan. Maka bagaimana pun keadaannya Allah senantiasa terpuji (lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyah karya Syaikh as-Sa’di, hal. 7)
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “al-hamdu adalah mensifati sesuatu yang dipuji dengan sifat-sifat sempurna yang diiringi oleh kecintaan dan pengagungan -dari yang memuji-, kesempurnaan dalam hal dzat, sifat, dan perbuatan. Maka Allah itu Maha sempurna dalam hal dzat, sifat, maupun perbuatan-perbuatan-Nya.” (Tafsir Juz ‘Amma, hal. 10)
b. Apabila telah terpatri dalam diri seorang hamba mengenai pengakuan dan keyakinan terhadap kesucian pada diri Allah dari segala kekurangan dan aib, maka secara otomatis akan terpatri pula di dalam jiwanya bahwa Allah adalah Sang Pemilik berbagai kesempurnaan sehingga yakinlah dirinya bahwa Allah adalah Rabb bagi seluruh makhluk-Nya. Sedangkan keesaan Allah dalam hal rububiyah tersebut merupakan hujjah/argumen yang mewajibkan manusia untuk mentauhidkan Allah dalam hal ibadah –tauhid uluhiyah-. Dengan demikian maka kalimat ini mengandung penetapan kedua macam tauhid tersebut –rububiyah dan uluhiyah- (lihat Taudhih al-Ahkam, 4/885) [http://abumushlih.com/ringan-di-lisan-berat-di-timbangan.html/]
c. Kita dianjurkan untuk memperbanyak dzikir dengan dzikir-dzikir di atas kapan saja. Dzikir-dzikir di atas termasuk Dzikir Mutlak yang tidak ditentukan oleh syara’ (Al Qur’an atau hadits) kapan dibacanya. Boleh dibaca kapan saja selama tidak pada waktu yang seharusnya dibaca dzikir muqayyad. Jenis dzikir yang lain adalah dzikir muqoyyad yang ditentukan oleh syara’ kapan dibacanya seperti dzikir setelah shalat, dzikir ketika masuk masjid dan keluar masjid, dzikir memakai pakaian dan melepasnya dst. (http://yufidia.com/dzikir-mutlak)
d. Keutamaan yang dijanjikan dalam hadits ini berlaku bagi orang yang berzikir dengan mengucapkan kalimat zikir dia atas secara bergandengan (tidak dipisah) (http://manisnyaiman.com/keutamaan-zikir-dengan-memuji-mengagungkan-dan-menyucikan-nama-allah/). Misalnya: akan akan ditanamkan bagimu satu pohon di surga jika mengucapkan “Subhanallah, walhamdulillah, walaa Ilaaha illallah, wallahu akbar”, bukan hanya “Subhanallah” saja.
Akan tetapi, di dalam hadits lain disebutkan bahwa, secara terpisah, Tasbih, Takbir, Tahlil, dan Tahmid mempunyai keutamaan lain yang SANGAT BESAR
عَنْ أَبِـيْ مَالِكٍ الْـحَارِثِ بْنِ عَاصِمٍ الأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «اَلطُّهُوْرُ شَطْرُ الإِيْـمَـانِ ، وَالْـحَمْدُ لِله تَـمَْلأُ الْـمِيْزَانَ ، وَسُبْحَانَ اللهِ وَالْـحَمْدُ للهِ تَـمْلأنِ أَوْ تَـمَْلأُ مَا بَيْنَ السَّمَـاءِ وَالأَرْضِ ، وَالصَّلاَةُ نُوْرٌ ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ ، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ ، وَالْقُرْآنُ حُـجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ ، كُلُّ النَّاسِ يَغْدُوْ : فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوْبِقُهَا». رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abu Mâlik al-Hârits bin ‘Ashim al-Asy’ari Radhiyallahu anhu ,ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bersuci adalah sebagian iman, alhamdulillâh (segala puji bagi Allah Azza wa Jalla) memenuhi timbangan. Subhânallâh (Maha suci Allah Azza wa Jalla) dan alhamdulillâh(segala puji bagi Allah Azza wa Jalla) keduanya memenuhi antara langit dan bumi; shalat adalah cahaya; sedekah adalah petunjuk; sabar adalah sinar, dan al-Qur`ân adalah hujjah bagimu. Setiap manusia melakukan perbuatan: ada yang menjual dirinya kemudian memerdekakannya atau membinasakannya.’” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 223)
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Alhamdulillâh (segala puji bagi Allah Azza wa Jalla) memenuhi timbangan, subhânallâh (Maha suci Allah Azza wa Jalla) dan alhamdulillâh (segala puji bagi Allah Azza wa Jalla) keduanya memenuhi antara langit dan bumi…”
Ini adalah keragu-raguan dari perawi dalam lafazh haditsnya. Dalam riwayat Muslim, an-Nasâ-i, dan Ibnu Mâjah disebutkan:
«وَالتَّسْبِيْحُ وَالتَّكْبِيْرُ مِلْءَ السَّمَـوَاتِ وَالأََرْضِ».
“Tasbîh dan takbîr memenuhi langit dan bumi.”
Hadits-hadits ini merangkum keutamaan empat kalimat tersebut yang merupakan sebaik-baik perkataan, yaitu subhânallâh, alhamdulillâh, lâ ilâha illallâh, dan Allâhu akbar.
• Alhamdulillâh
Adapun alhamdulillâh maka seluruh ahli hadits sepakat bahwa kalimat itu memenuhi timbangan. Ada yang mengatakan bahwa kalimat itu sebagai permisalan; dan maknanya jika alhamdulillâh berbentuk jasad, ia pasti memenuhi timbangan. Ada lagi yang mengatakan bahwa Allah Azza wa Jalla menjelmakan seluruh perbuatan dan perkataan manusia menjadi jasad yang bisa dilihat dan ditimbang pada hari Kiamat, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang al-Baqarah dan surat Ali ‘Imrân dimana keduanya akan datang pada hari kiamat seperti awan atau dua naungan atau seperti dua kelompok burung yang membentangkan sayapnya, membela para pembacanya (HR. Muslim no. 804)
• Subhânallâh
Adapun subhânallâh, maka dalam riwayat Muslim disebutkan,
«سُبْحَانَ اللهِ وَالْـحَمْدُ للهِ تَـمْلَآنِ أَوْ تَـمْلأُ مَا بَيْنَ السَّمَـاءِ وَاْلأَرْضِ».
“Subhânallâh dan alhamdulillâh keduanya memenuhi atau memenuhi antara langit dan bumi…”
Perawinya ragu-ragu tentang apa yang memenuhi langit dan bumi: apakah kedua kalimat tersebut ataukah salah satu dari keduanya? Dalam riwayat an-Nâsa-i dan Ibnu Mâjah disebutkan,
«وَالتَّسْبِيْحُ وَالتَّكْبِيْرُ مِلْءَ السَّمَـوَاتِ وَاْلأَرْضِ».
Tasbîh dan takbîr memenuhi langit dan bumi
Riwayat tersebut mirip dengan riwayat Muslim, tetapi apakah yang dimaksud bahwa kedua kalimat tersebut memenuhi langit dan bumi ataukah salah satu dari keduanya? Ini bisa saja terjadi. Pada hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan lainnya disebutkan bahwa takbîr itu memenuhi antara langit dan bumi.
Tetapi yang jelas, tasbîh saja tanpa takbîr itu mempunyai kelebihan seperti ditegaskan dalam hadits Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Abdullâh bin ‘Amr Radhiyallahu anhu , dan seorang dari Bani Sulaim bahwa tasbîh adalah separuh timbangan dan alhamdulillâh memenuhi timbangan.
Sebabnya, tahmîd dengan kata alhamdulillâh itu menegaskan seluruh pujian milik Allah Azza wa Jalla, termasuk penegasan seluruh sifat kesempurnaan bagi-Nya. Sedangkan tasbîh adalah mensucikan Allah Azza wa Jalla dari seluruh kekurangan, aib, dan cacat. Penegasan itu lebih sempurna daripada penafian. Oleh karena itu, tasbîh tidak datang sendirian, namun digandeng dengan sesuatu yang menunjukkan penegasan kesempurnaan. Terkadang tasbîh digandengkan dengan al-hamdu (pujian), misalnya perkataan, “Subhânallâhi wa bihamdihi,” atau perkataan, “Subhânallâhi wal Hamdulillâh.” Terkadang tasbîh digabung dengan salah satu Asma Allah yang menunjukkan keagungan dan kebesaran, misalnya, “Subhânallâhil ‘Azhîm.” Jika hadits Abu Mâlik Radhiyallahu anhu menunjukkan bahwa yang memenuhi antara langit dan bumi ialah kumpulan tasbîh dengan takbîr, maka masalahnya sudah jelas. Namun, jika yang dimaksudkan bahwa masing-masing dari tasbîh dan takbîr itu memenuhi antara langit dan bumi, maka timbangan lebih luas daripada langit dan bumi. Jadi, apa yang memenuhi timbangan itu lebih besar daripada apa yang memenuhi antara langit dan bumi.[Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/17-18)]
• Takbîr (Allâhu akbar)
Adapun takbîr, maka disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan seorang dari Bani Sulaim bahwa takbîr memenuhi antara langit dengan bumi. Sedang di hadits ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu disebutkan bahwa takbîr bersama tahlîl (lâ ilâha illallâh) memenuhi langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. [Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/18)]
• Tahlîl (Lâ ilâha illallâh)
Adapun tahlîl saja maka sampai kepada Allah Azza wa Jalla tanpa rintangan.[Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/18)]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا قَالَ عَبْدٌ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُخْلِصًا إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ السَّمَـاءِ حَتَّى تُفْضِيَ إِلَـى الْعَرْشِ مَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
Seorang hamba tidak mengucapkan lâ ilâha illallâ dengan ikhlas, melainkan pintu-pintu langit dibuka untuknya hingga kalimat tersebut tiba di ‘Arsy selagi dosa-dosa besar dijauhi.”[Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 3590)]
Ada perbedaan pendapat mengenai kalimat mana yang lebih utama: kalimat alhamdu atau kalimat tahlîl? Perbedaan pendapat dalam masalah ini dikemukakan oleh Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah dan selainnya.
An-Nakha’i rahimahullah berkata, “Para Ulama berpendapat bahwa alhamdu adalah kalimat yang paling banyak dilipatgandakan (pahalanya).”
Ats-Tsauri t berkata, “Tidak ada perkataan yang lebih dilipat gandakan (pahalanya) daripada alhamdulillâh.”
Alhamdu (pujian) mengandung makna penegasan seluruh kesempurnaan untuk Allah Azza wa Jalla, termasuk di dalamnya tauhid.[ Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/20)] {http://almanhaj.or.id/content/3408/slash/0/anjuran-bersuci-berdzikir-sedekah-dan-sabar/}
e. Zikir ini lebih utama jika diucapkan dengan lisan disertai dengan penghayatan akan kandungan maknanya dalam hati, karena zikir yang dilakukan dengan lisan dan hati adalah lebih sempurna dan utama. Perlu diingatkan di sini bahwa semua bentuk zikir, doa dan bacaan al-Qur’an yang disyariatkan dalam Islam adalah bacaan yang diucapkan dengan lidah dan tidak cukup dengan hanya terucap dalam hati tanpa menggerakkan lidah, sebagaimana pendapat mayoritas ulama Islam.
f. Hadits ini juga menunjukkan adanya timbangan (mizan) amal kebaikan yang hakiki pada hari kiamat dan bahwa amal perbuatan manusia akan ditimbang dengan timbangan tersebut, ini termasuk bagian dari iman terhadap hari akhir/ kiamat. (http://manisnyaiman.com/keutamaan-zikir-dengan-memuji-mengagungkan-dan-menyucikan-nama-allah/)
Ahlus Sunnah meyakini tentang ditegakkannya al-mîzân (timbangan) dan dibukanya catatan-catatan amal. Menurut bahasa mîzân berarti alat yang digunakan untuk mengukur sesuatu berdasarkan berat dan ringan (neraca). Sedangkan menurut istilah, mîzân adalah sesuatu yang Allah Azza wa Jalla letakkan pada hari Kiamat untuk menimbang amalan hamba-Nya, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh al-Qur`ân, Sunnah, dan ijmâ’ Salaf.[Syarah Lum’atul I’tiqâd (hal. 120) karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah]
فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ
Barangsiapa berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Barangsiapa ringan timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahannam.” [al-Mukminûn/23:102-103]
Mîzân secara hakiki memiliki dua daun timbangan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang bithâqah (sebuah kartu) bertuliskan ” أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ”  yang lebih berat dari 99 catatan (dosa yang dilakukan), tiap satu catatan seperti jarak mata memandang. [HR. At-Tirmidzi (no. 2639), Ibnu Mâjah (no. 4300), al-Hâkim (I/6, 529), Ahmad (II/213), dari Sahabat ‘Abdullâh bin ‘Amr bin al-‘Ash rodhiyallohu 'anhuma, Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 135)] {http://almanhaj.or.id/content/3408/slash/0/anjuran-bersuci-berdzikir-sedekah-dan-sabar/}
g. Jadi, tidak waktu yang tidak berguna, kita bisa memanfaatkan waktu yang sangat sedikit untuk meraih pahala yang sangat besar. Pergunakanlah waktumu dengan baik Saudaraku!
 Semoga Alloh selalu memberikan taufiq kepada kita agar kita selalu dapat mengingat-Nya di waktu-waktu luang kita.
Semoga bermanfaat bagi penulis dan siapa saja yang membacanya. Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik hingga hari kiamat.
 Abu Muhammad Palembang, 15 Shafar 1434 H / 28 Desember 2012 (Selesai diedit pada 19 Sya’ban 1434 H / 28 Juni 2013)
 In "Adzkar"

No comments: